Langsung ke konten utama

Postingan

Membebaskan Diri Dari Mendzolimi diri Sendiri

Secara fisik manusia diciptakan dari saripati tanah ( QS 6: 2), bahan dari dunia ini.  Tempat kelahiran dan tempat tinggalnya pun di dunia ini sebagai bagian dari jagat raya. Wujud fisik dan performa manusia di bentuk sedemikian rupa dengan kehendak penciptanya (QS 82:8). Bukan dengan kehendak dirinya sendiri dan bukan kehendak kedua orang  tua nya, manusia tundak sepenuhnya pada sunnatullah. Selain wujud fisik dan performa terbaik tersebut, Manusia  dikaruniai potensi  ruh (QS 15: 26-31) dan akal agar dapat mengembangkan sumber daya dirinya hingga tumbuh menjadi makhluk moral yang dianugerahi kebebasan dan mampu memanfaatkan alam dan mengubahnya menjadi sarana pencapaian tujuan dan misi otentiknya. Kebebasan memilih merupakan kebebasan terpenting yang menentukan konsekuensi-konsekuensi pilihan dalam hidupnya  (QS 10:99).  Dan Islam memaknai kebebasan juga sebagai larangan manusia untuk menindas dirinya sendiri atau orang lain serta meletakkan kemanusiaan dalam pers
Postingan terbaru

Lapang Dada

Setetes racun sianida yang jatuh ke hati yang sempit, Sesempit cangkir kopi kecil, akan meracuni seluruh jiwa raga. Setetes racun yang sama, yang jatuh ke hati yang lapang, selapang lautan, akan hilang terurai di keluasan samudra. Hati yang sempit menyimpan dendam. Hati yang lapang gampang memaafkan. Lapangkah dada Anda, Luaskan pintu maaf Anda Maka, racun kehidupan apapun, kata2 yang seberapun menyakitkan, perbuatan2 yang tidak menyenangkan, tidak akan berdampak pada Anda.

Antara Kemenangan dan Jiwa Jiwa Lemah

“Jauh lebih baik menjelajahi hal-hal besar, merebut kemenangan gemilang,  meski dihadang kegagalan berkali-kali, dari pada tinggal bersama jiwa-jiwa lemah yang tidak menikmati kebahagiaan maupun penderitaan, karena mereka tinggal di wilayah abu-abu yang tak kenal kemenangan ataupun kekalahan”. Teddy Roosevelt (1899)

Antara Mental dan Gelar

Saat mendapat beasiswa ke Australia 1995, mahasiswa Indonesia sempat diinapkan 3 malam di rumah penduduk di suatu perkampungan untuk meredam shock culture yang dihadapi. Saya bersama dengan kawan dari Thailand menginap di Balarat, di peternakan seorang Ausie yang tinggal suami istri bersama dengan anak tunggalnya. Luas peternakannya kira-kira sekecamatan Arcamanik, dengan jumlah sapi dan dombanya, ratusan, yang pemliknya sendiri tak tahu secara pasti, karena tak pernah menghitungnya dan sulit memastikannya dengan eksak. Suatu sore saya terlibat perbincangan dengan anak tunggalnya di pelataran rumah di musim panas yang panjang, di bulan Janauari 1995. Aussie: " Why so many people form your country take a PhD and Master degree here?" Saya:   "_ Why not? Your country give a grant, not loan, for us? So, it is golden opportunity for us to get higher degree. Why you just finish your education at Diploma level, even it is free for Aussie to take higher degree?

Ksatria tanpa zirah

Menjadi caleg tingkat satu, suatu ketika. Hanya patuh pada imamku yang melarang saya mengajukan keberatan. Injury time; saat itu juga, atau semuanya jadi anulir. Meyakinkan diri kalau ini sifatnya bisa jadi formalitas saja, alias punten, setor nama saja. Di kemudian hari kami berdua terhenyak, tidak ada yang namanya ‘setor nama saja’. Saya terseret ke dalam ‘kancah perang’. Tiga hari setelah selesai kursus menyetir, mengangkut semua anak meluncur ke Jatinangor, mengurus legalisir ijasah.  Berikutnya, seperti yang bertubi-tubi, pertemuan, pembekalan, rapat koordinasi, undangan, silaturahim, kampanye terbuka, kunjungan. Menikmati benar sesi foto. Setidaknya jadi tahu bagaimanan senyum yang disukai fotografer dan yang tidak. Senyum saya memudar setelah menyadari foto itu yang kelak akan dipampang minimal di stiker yang harus dimodali sendiri, dan di kertas suara. Yang saya tahu saat itu bahwa saya harus terus berlari dan bergerak. Jama’ah sedang tertimpa musibah. Sehingga

Perspektif Baru Dalam Menikmati Rizqi

Makanan lezat dapat diburu, hidangan mahal dapat dibeli. Untuk menikmati racikan seorang Chef Bintang Lima Michelin di Kota Paris, kita harus mengajukan reservasi jauh-jauh hari, dengan uang pangkal yang cukup untuk biaya hidup di Yogyakarta selama berbulan tanpa ngeri. Tapi nikmatnya makan adalah rizqi, Allah Yang Maha Memberi lagi Membagi. Seorang bapak di Gunung Kidul yang mencangkul sejak pukul 07.00 pagi, di jam 10.30 didatangi sang istri. Sebuah bakul tergendong di punggungnya, dengan isi amat bersahaja. Nasi ketan bertabur parutan kelapa. Sementara cereknya berisi teh panas, wangi, sepet, kenthel, dan legi. Peluh dan lelah menggenapkan rasa nikmat di tiap suapan sang belahan jiwa. Senyum mereka tak terbeli oleh berapapun harga. Ranjang paling empuk dapat dibeli. Kamar tidur paling mewah dapat dirancang. Hotel berlayanan bintang tujuh, Burj Al 'Arab di Dubai dapat menyediakan ruang rehat dengan sewa semalam seharga membangun rumah di negeri kita. Tapi nik

Mengelola Kecewa

Di Ji’ranah hari itu ada kecewa. Ada kebijakan Rasulullah yang tak dipahami. Ada keputusan yang disalahmengerti. Sangat manusiawi kelihatannya. Orang-orang Anshar merasa disisihkan selepas perang Hunain yang menggemparkan. Mereka telah berjuang total. Mereka berperang di sisi Rasul dengan penuh kecintaan. Tapi, harta rampasan perang lebih banyak dibagikan pada orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya. Sementara pada mereka, seakan hanya memperoleh sisa. Padahal, semua orang tahu, sebagaimana Rasul pun juga mengetahuinya: merekalah yang berjuang dengan sepenuh iman ketika orang-orang Quraisy dan kabilah Arab itu lari tunggang langgang pada serangan pertama pasukan Malik bin Auf An-Nashry. Maka, hari itu di Ji’ranah, ada yang kasak-kusuk, ada yang memercikan api, “Demi Allah, Rasulullah saw telah bertemu kaumnya sendiri!” Kalimat itu jelas sarat kekecewaan. Hari itu juga utusan Anshar, Sa’d bin Ubadah menemui Sang Rasul. Hatinya gusar. Ia ingin segera sam