Saat mendapat beasiswa ke
Australia 1995, mahasiswa Indonesia sempat diinapkan 3 malam di rumah penduduk
di suatu perkampungan untuk meredam shock culture yang dihadapi.
Saya bersama dengan kawan dari
Thailand menginap di Balarat, di peternakan seorang Ausie yang tinggal suami
istri bersama dengan anak tunggalnya. Luas peternakannya kira-kira sekecamatan
Arcamanik, dengan jumlah sapi dan dombanya, ratusan, yang pemliknya sendiri tak
tahu secara pasti, karena tak pernah menghitungnya dan sulit memastikannya
dengan eksak.
Suatu sore saya terlibat
perbincangan dengan anak tunggalnya di pelataran rumah di musim panas yang
panjang, di bulan Janauari 1995.
Aussie: "Why so many people form your country take a
PhD and Master degree here?"
Saya: "_Why
not? Your country give a grant, not loan, for us? So, it is golden opportunity
for us to get higher degree. Why you just finish your education at Diploma
level, even it is free for Aussie to take higher degree?
Aussie: " I don't need that degree, my goal is just to get a skill how to
make our business broader. Now I am starting my own business in textile and
convection, so I just need the technique to produce it, not to get any rubbish
degree "
Dua puluh tahun kemudian saya
masih termenung, berusaha mencerna fenomena yang terjadi di negeri ini. Begitu
banyak orang tergila-gila pada gelar doktor, profesor, sama seperti tahun
1970an ketika banyak orang tergila-gila pada gelar ningrat RM, RP, GKRH.
Dan tentu orang yang berusaha
mendapatkan gelar itu tak terlalu paham dengan substansi yang dikandung dalam
gelar yang di sandang. Pernah dengan iseng kutanyakan kepada supervisorku di
Inggris sana, saat mengambil PhD:
" Why don't you take a professor?" tanya saya lugu kepada
supervisorku yanng belum profesor padahal Doktornya cumlaude dan sudah
membimbing 10 doktor baru.
Dengan serta merta ditariknya
tangan kanan saya. Ditatapnya mata saya tajam-tajam.
"Look," katanya dengan
muka serius:
" ..Professor is not a status symbol or level in
expertise, but professor is mentality, is a spirit, is a way of life, is a
wisdom, so get it, is just the matter of time if you have ready for all
requirements... But have you ready with the consequence of it?"
Dan profesor saya lebih cepat,
saya dapatkan dari pembimbing saya yang arif dan bijaksana itu.
Merenungi dua kejadian itu,
semakin saya sadari, bahwa Indonesia memiliki segala sumber daya untuk maju,
tapi mentality lah yang menjadi kendala utama.
Social sciences dan social
behaviour menjadi hal terpenting dalam study yang harus dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki kemampuan IQ, EQ dan SQ yang tinggi. Dan celakanya,
sudah lama kadung diyakini di sini bahwa ilmu eksakta lebih sulit dari pada non
exacta. Dan persyaratan masuk jurusan non exacta yang di Australia butuh IELTS
7.5 dibandingkan dengan engineering yang hanya butuh 6.0, berbanding terbalik
dengan yang diterapkan di sini. Akibatnya, negara menjadi amburadul karena yang
banyak mengatur negara dan pemerintahan bukanlah orang yang memilki kemampuan
untuk itu.
Dari mana mesti mulai membenahi hal ini?
Pendidikan dasar dan Pendidikan
Tinggi. Seperti Finlandia yang pendidikannya termasuk terbaik di dunia.
Guru-guru di sana merupakan profesi terhormat dengan pemenuhan kebutuhan diri
yang mencukupi. Jadi guru didapatkan dari the best of class dari level
pendidikan yang ditempuh. Sehingga penduduk Finlandia sudah hampir 100%
memiliki degree Master. Bukan didapatkan dari pilihan kedua, pilihan ketiga, atau
daripada tidak bekerja.
Melihat acara Kick Andy beberapa
hari lalu: Nelson Tansu dan Basuki, sebagai tamu undangan, adalah contoh
konkrit, dua orang expert Indonesia yang qualified yang bekerja di negara USA
dan Swedia, dan mereka tergabung dalam 800 orang expert Indonesia yang diakui
di luar negeri dan bekerja di luar negeri. Artinya Indonesia bisa, Indonesia
memiliki kemampuan. Yang menjadi masalah adalah how to manage them in Indonesia
environment? How we arrange them, how to make synergy between government,
industry, university to bring Indonesia together to be world class?
Melihat management pemerintahan
yang amburadul?
Tidak usah susah-susah
menganalisis dengan integral lipat tiga segala. Lihat saja satu spek sederhana:
gaji Presiden yang 62.5 juta dan gaji menteri yang 32.5 juta dibandingkan
dengan gaji direktur BUMN dan lembaga keuangan yang mencapai lebih dari 100
juta per bulan, itu sudah kasat mata, bahwa menentukan gaji saja sudah tidak
memperhatikan: range of responsibility, authority, impact to the Indonesia
society, dan sebagainya, apalagi menentukan yang lain. Semua asal copy paste
dari luar tanpa melihat esensi yang dikandungnya.
Aku termenung, mengingat
pembicaranku dengan ayahanda saat kelulusanku dulu 26 tahun yang lalu. Kepada
beliau kuutarakan niatku untuk merantau ke luar negeri, dan apa jawab beliau:
"Tidak usah pergi, kalau semua anak Indonesia yang pintar ke luar
negeri, siapa nanti yang akan mendidik orang Indonesa sendiri?"
Kini aku tergulung dalam
idealisme, aktualisasi diri, dan kepatuhanku kepada orang tua.
Hal yang paling kutakuti dalam
hidup adalah jika dipimpin oleh orang-orang yang tidak sidiq, amanah, tabligh,
fathonah. Dan terutama dipimpin oleh orang yang tidak lebih pandai, sehingga
semuanya jadi kacau. Dan kekacauan terjadi di mana-mana, dalam berbagai level.
tulisan Dari Prof Dermawan Wibisono (TI 84, dosen SBM ITB)
tulisan Dari Prof Dermawan Wibisono (TI 84, dosen SBM ITB)
Komentar
Posting Komentar