Langsung ke konten utama

3 orang buta dan seekor gajah

Alkisah ada 3 orang teman akrab yang buta (tuna netra). Mereka mendengar ada binatang yang hebat bernama gajah. Mereka berkeinginan mengetahui seperti apakah gajah itu dan saling berjanji untuk mencari tahu kemudian menceritakan hasil temuannya kepada kedua temannya yang lain.

Masing-masing orang buta itu kemudian pergi bersama saudaranya masing-masing untuk mencari gajah. Setelah waktu yang ditentukan, ketiga orang buta inipun berkumpul lagi untuk saling bercerita tentang bagaimanakah gajah itu.

Orang buta pertama bercerita, “Gajah itu ternyata bentuknya lebar, tipis seperti kipas dan tidak pernah berhenti bergerak saat disentuh. Geli aku saat menyentuhnya, seperti menyentuh kulit nenek-nenek..”. Orang buta kedua segera menyanggah, ”Ngaco kamu. Gajah itu bentuknya bulat, panjang dan melengkung. Boro-boro kayak kulit nenek, gajah itu halus permukaannya dan keras pula!”. Tapi orang buta ketiga buru-buru membantah, “Kalian cerita apa sih? Gajah itu gak begitu tahu…Gajah itu bulat, kecil, dan sedikit memanjang dan ujungnya ada bulunya. Persis seperti cambuk loh..”
Mereka terus berdebat tentang siapa yang benar. Tidak ada yang mau mengalah hingga masing-masing merasa kesal dengan temannya ini dan sejak saat itu mereka tidak lagi berteman akrab.

Rupanya ketiga orang buta tersebut hanya bisa memegang bagian tertentu saja dari gajah. Orang buta pertama hanya memegang telinganya karena saudaranya hanya menunjukkan telinga gajah sebab dia beranggapan bahwa telinga gajah adalah bagian paling unik. Sementara orang buta kedua hanya memegang gading gajah karena saudaranya menganggap gading adalah bagian paling berharga. Orang buta ketiga juga ternyata hanya memegang ekor gajah karena saudaranya yang bertugas menunjukkan gajah padanya menganggap ekor gajah adalah sebuah ironi, anggota tubuh terkecil yang bisa dipegang dari gajah yang sedemikian besar.

--------------END---------------

Dalam menyikapi peristiwa sehari-hari seringkali kita seperti 3 orang buta itu, misalnya saat mengomentari peristiwa politik. Apa yang kita ketahui hanyalah sepotong bagian dari cerita seutuhnya. Media (cetak, online, social) yang kita baca adalah saudara yang menjadi pemandu bagi ketiga orang buta tersebut. Mereka menunjukkan apa yang penting menurut mereka, sesuai selera mereka, atau sesuai kepentingan mereka dan meninggalkan kita hanya dengan sepotong informasi yang tak utuh dan terdistorsi.

Mau tidak mau memang hanya dari media kita bisa mencoba memahami suatu peristiwa. Mereka adalah ‘mata dan telinga’ untuk peristiwa yang kita tidak bisa kita saksikan sendiri. Masalahnya adalah tiap media punya agendanya masing-masing. Ada media berhaluan kiri, kanan, depan, belakang, dan lain-lain.

Untuk bisa memahami ‘gajah’-nya sendiri diperlukan keterbukaan dari tiap individu untuk bisa menerima bahwa “ada kemungkinan kebenaran” dari apa yang dikatakan oleh pihak lain yang bersebrangan. Sehingga jika ada pendapat yang berbeda atau berseberangan tidak serta-merta dibantah dan ditolak namun ditimbang dan dicerna dengan baik dahulu.

Selain itu, diperlukan juga “hati yang jernih”. Hati yang terbebas dari prasangka individu maupun golongan, prasangka baik maupun buruk. Karena kalau sudah berprasangka terhadap seseorang maupun golongan maka fakta apapun yang ada akan menjadi bias.

Komentar

Postingan populer dari blog ini