Langsung ke konten utama

Ksatria tanpa zirah



Menjadi caleg tingkat satu, suatu ketika. Hanya patuh pada imamku yang melarang saya mengajukan keberatan. Injury time; saat itu juga, atau semuanya jadi anulir. Meyakinkan diri kalau ini sifatnya bisa jadi formalitas saja, alias punten, setor nama saja.

Di kemudian hari kami berdua terhenyak, tidak ada yang namanya ‘setor nama saja’. Saya terseret ke dalam ‘kancah perang’. Tiga hari setelah selesai kursus menyetir, mengangkut semua anak meluncur ke Jatinangor, mengurus legalisir ijasah. 

Berikutnya, seperti yang bertubi-tubi, pertemuan, pembekalan, rapat koordinasi, undangan, silaturahim, kampanye terbuka, kunjungan. Menikmati benar sesi foto. Setidaknya jadi tahu bagaimanan senyum yang disukai fotografer dan yang tidak. Senyum saya memudar setelah menyadari foto itu yang kelak akan dipampang minimal di stiker yang harus dimodali sendiri, dan di kertas suara.

Yang saya tahu saat itu bahwa saya harus terus berlari dan bergerak. Jama’ah sedang tertimpa musibah. Sehingga seorang perempuan dengan anak-anak yang masih kecil-kecil harus turun ke garis depan. Mengayung-ayun belati, instead of sword, bertarung dengan lagak seekor singa, padahal sesungguhnya kucing helokiti.

Tanpa kekuatan materi, tanpa dukungan deretan majelis ta’lim, nol pengalaman. Bersyukur setiap pekan bertemu dengan akhwat melingkar melepas kepenatan otak dan hati. Lepas  itu kembali menggendong-gendong bayi bersilaturahim kemana-mana. Sesekali dua batita diajak sekaligus. Pura-pura tidak terganggu ketika mereka mulai bergulat di hadapan hadirin. 

Di lain waktu, menenangkan khadimat yang gemetaran karena si kecil dicemplungkan anak tetangga ke kali dekat rumah, sementara umminya berada jauh dari rumah. Setiap hari berlarian antara mengajar (mempertahankan aliran honor agar stiker dicetak dan ada bensin kemanapun saya pergi),sambil lalu mengecek hafalan anak-anak, mengurus sendiri pekerjaan rumah tangga setelah khadimat memutuskan untuk cek out, setengah mati menjalankan program binaan, dan urusan pencalegan ini.

Tanpa zirah, terus berlari dan bergerak. Tanpa sempat berpikir kenapa semua pembekalan itu tak sesuai pada prakteknya. Apalagi ditagih laporan anggaran biaya kampanye. Saya terjun bebas. Luka-luka mulai menganga. Menjaga kehidupan pada episode itu dengan suami bekerja di luar kota, limited time, komunikasi kusut, memperparah luka. Terseok, tapi terus berputar dalam pertarungan. Lillah lillah lillah. Ditingkahi suara sumbang; ngapain jadi caleg?, apa-apaan menonjolkan diri seperti itu, terlalu memaksakan diri.

Ustadz Anis berdiri tegak di tengah carut-marut itu. Tak akan ada ikhwah yang tega untuk mengkhianati seruan “Kita harus naik!”. Dan demi melihat senyum keibuan ibu Ledia Hanifa, yang mengembalikan Hud (satu-satunya yang bukan orang dewasa di ruang itu, di DPP suatu hari) dari hampir berkelana keluar ruangan, saya sadar tadhiyyah ini tidak ada apa-apanya dengan yang mereka punya.

Itu yang membuat saya setengah mati mengurung beberapa kalimat dalam otak supaya tak sampai kabur keluar dari mulut; saya bukan caleg betulan, jangan berharap pada saya. Tersenyum haru ketika tetangga yang bangga sewaktu saya diundang ke Pakuan. Serius percaya siapa tahu ada keajaiban si umi jadi anggota dewan.

Akhirnya peperangan usai, meninggalkan pasukan yang membasuh luka masing-masing, berikut untold story-nya masing-masing. Subhanallah, siapa yang tidak meleleh melihat para asatidz yang tetap bugar lahir batin dengan segala kerusuhan itu. Bukan sekali dua kali mereka bertempur, tak kemudian terlihat langkah yang gontai. Malu hati semalu-malunya, tapi tak urung hati ini juga khusu’  berdo’a, semoga ini tidak terjadi lagi pada saya.

Luka- luka itu sekarang sudah mengering dan sembuh. Meninggalkan pelajaran berharga, minimal untuk diri saya sendiri. Saya melihat jama’ah juga memperbaharui mekanisme pengangkatan caleg dengan persiapan matang dari jauh-jauh hari. Kalau perlu setiap satu nama dua rakaat. Serius ini, jangan tertawa.

Baju zirah itu, baik dan perlu. Syukur-syukur bentuknya materi yang berlimpah. Kalau itu terdengar seperti mimpi kali yee, setidaknya dengan penunjukkan inner-cycle untuk setiap caleg, kalau perlu menggunakan SK dan surat tugas.

Firman Allah swt, jangan tanggung-tanggung memohon kepadaNya, yang kedengarannya mustahil sekalipun. Memohon agar setiap kader yang JADI CALEG menjadi CALEG JADI, di setiap cabang da’wah. Allah tundukkan angin, jin dan manusia, juga binatang di bawah kerajaan nabi Sulaiman as, as requested;

Ya Allah ya rabb,ampunilah segala dosa-dosa hamba, anugerahkanlah kepada hamba kerajaan yang tidak dimiliki oleh orang lain setelah hamba. Sesungguhnya hanya Engkaulah Yang Maha Memberi.

Ramadhan 9th~
True story, seperti yg di ceritakan oleh pelaku

Komentar

Postingan populer dari blog ini