Langsung ke konten utama

Ayah selalu ada

Malam sudah larut, seorang lelaki mengetuk pintu berkali-kali, sampai beberapa menit kemudian isterinya membukakan pintu untuknya. “Anak-anak sudah tidur?” selalu kalimat itu yang ditanyakannya setiap tiba di rumah. Sudah tentu, selarut itu anak-anaknya sudah terlelap. Ia menghela nafas sejenak, kemudian langkahnya menuju kamar anak-anaknya.

Duduk di tepi tempat tidur puteri sulungnya, ia merapihkan buku-buku pelajaran yang masih berserakan, mematikan laptop yang masih menyala, menggulung kabel dan menyimpannya di meja belajar. Lembut tangannya mengusap kepala puteri tidurnya itu, mengecup keningnya kemudian membalutkan selimut di tubuhnya.
Beralih ia ke puteranya yang tertidur di ruang keluarga. Ia mengangkatnya untuk dipindahkan ke kamar tidurnya, “Ups, sudah semakin berat ia sekarang ya bu…”.

Kembali ia duduk di tepi tempat tidur anaknya, membelai lembut pipinya sambil menghalau nyamuk yang hendak hinggap di kulit halus puteranya. Sama seperti yang ia lakukan terhadap puterinya, untaian doa dan nasihat ia bisikkan di telinga puteranya, doa dan nasihat yang ia yakini tetap didengar meski mereka tengah tertidur pulas. “Ayah berbicara dengan hatinya, fisiknya terlelap, hatinya tetap terjaga,” isterinya pun mengangguk setuju.

Tengah malam, kembali terbangun. Usai mengadukan semuanya kepada Allah, ia melihat ke kamar anak-anaknya. Ia balutkan kembali selimut di tubuh anaknya yang meringkuk kedinginan, mengecup kening sambil mengusap kepalanya. “Ayah mencintaimu, Nak…” bisiknya.

Bagi sebagian Ayah yang harus berjuang mencari nafkah hingga larut malam, sedikit waktu bersama anak-anaknya adalah pengorbanan terbesar dalam hidupnya. Di satu sisi, seorang ibu memiliki tugas yang besar di rumah, namun memiliki waktu yang lebih banyak bersama anak-anaknya.

Sementara seorang Ayah, mencari nafkah seharian di luar rumah, berkurang kebersamaannya dengan anak-anak.

Seberapa banyak Ayah yang mendapatkan momen emas langkah pertama anaknya? Tak kurang kebahagiannya meski ia hanya mendengar dari telepon atau sms dari isterinya, “Ayah, Nanda sudah bisa jalan selangkah…” menetes air matanya di kantor, di jalan, di kendaraan, di bis atau dimana saja ia terharu saat itu. Ingin rasanya kakinya bergegas ke rumah agar tak ketinggalan momen indah itu, tetapi tanggungjawabnya mencari nafkah harus diutamakan.
Sesampainya di rumah, tak ia temukan langkah anaknya, karena si kecil sudah terbuai mimpi di larut malam. Mungkin esok…

Para Ayah berharap selalu berada di sisi putera-puterinya dalam setiap kesempatan, meski tak semua bisa mendapatkan kesempatan itu. Apakah ia ada saat anaknya terjatuh dari sepeda, saat ia menangis karena dipukul temannya, saat anaknya berlari ke rumah sepulang sekolah untuk menunjukkan nilai ujiannya yang bagus, saat ia bangga hendak menunjukkan karya pertamanya di sekolah, saat hatinya sedang galau dan memerlukan tempat bercurah hati, saat ia kebingungan menjawab soal tugas sekolahnya, bahkan saat ia merasa tidak punya teman…

Sebagian Ayah, setiap hari mengayuh sepeda membonceng anaknya ke sekolah, menjemputnya kembali di siang hari. Sebagian lainnya, menyempatkan mengantar anak ke sekolah sambil berangkat kerja, meski kadang dengan resiko terlambat tiba di kantor. Sebuah resiko yang kerap diterabas para Ayah demi bisa mengantar anaknya sekolah. Sebagian Ayah lainnya, karena tanggung jawabnya mencari nafkah, bahkan tak sempat mengantar hari pertama sekolah anaknya, mengambil raport anaknya, melihat pementasan seni anak-anak di sekolah, bahkan saat kenaikan atau kelulusan anak-anaknya. Tentu bukan karena tak mau, atau menyerahkan semua tugas itu kepada ibunya anak-anak, tapi semata karena kondisi tidak mengijinkannya.

Anak-anak, lari ke pelukan ibunya saat Ayahnya menegur tegas kekeliruan anaknya. “Ayah jahat!” itu yang keluar dari mulut anaknya di depan ibunya. Ayah, sosok yang tegas, ibu sosok yang lembut, keseimbangan yang harus tetap dijaga agar menjadi warna yang harmoni pada kepribadian anak-anak. Bahwa, sikap lembut dan tegas itu sama-sama diperlukan dalam menjalani kehidupan. Ah, anak-anak akan mengerti pada akhirnya, meski selama beberapa waktu, “Ayah Jahat” atau “Ayah Galak” terus tersemat di benak mereka.

Para Ayah, rela meninggalkan tugas di kantornya saat mendengar anaknya sakit. Ia tinggalkan ruang rapat, untuk sejenak menelepon anaknya yang baru saja naik kelas dengan prestasi membanggakan, ia putuskan untuk pulang lebih cepat dari kantor sesaat setelah pesan singkat isterinya, “Ayah, pulangnya beli susu ya…”

Lelaki yang terus memacu motor di lebatnya hujan, agar bisa bertemu anak-anaknya sebelum mereka tertidur. Ia yang menantang terik matahari, demi menjalani pekerjaan agar isteri dan anak-anaknya tetap memiliki harapan. Ia yang tak berkata, “Ayah lelah, jangan ganggu Ayah…” sesaat setelah tiba di rumah, kemudian anak-anaknya minta gendong, minta diantar ke rumah temannya, minta dibantu membuat tugas sekolah, minta dibuatkan mie rebus, minta dimandikan, atau minta ditemani bermain.

Sosok yang sering “menghilang” tak berapa lama usai memimpin sholat subuh berjamaah dan memberi beberapa wejangan hikmah, yang berjalan mendahului kokok ayam jantan, untuk menunaikan kewajibannya mencari nafkah. Gundah memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya, resah ketika persediaan belanja isteri menipis, bahkan tak nyaman jika harus mengurangi uang saku sekolah anaknya. Namun tetap menjaga senyum saat bersama anak-anaknya, membungkusnya dalam balutan doa kepada Allah.

Diam-diam ia mengawasi siapa teman main anaknya, yang kadang tak tenang melepas puterinya bepergian jauh, yang kerap menelepon puteranya yang tengah berkemah, bukan untuk memanjakan atau mengekang, sekadar memastikan mereka tetap berada pada arah yang benar, tak salah langkah. Menjamin selalu yang terbaik yang didapat anak-anaknya, tak peduli seberapa terjal jalan yang ditempuhnya.

Sebagian Ayah, sering tak kembali membawa pesanan anak-anaknya. Kadang tak mampu membeli semua mimpi, tak berhasil menciptakan senyum anak-anak mereka, tak sanggup membayar semua janji, bahkan tak jarang berakhir kecewa, kesal atau bahkan benci lantaran permintaan tak terpenuhi. Ia, yang ikhlas menjadi “nomor empat” setelah ibu mereka, ikhlas pula menyimpan “kesal” anak-anaknya, mengubahnya menjadi semangat untuk menuntaskan semua harapan.

Lelaki yang dipanggil Ayah itu, memang kerap tak hadir dalam beberapa kesempatan berharga anak-anaknya. Ia super hero, meski tak berbaju besi dan bersayap. Kisah kepahlawanannya kadang tersembunyi, berbalut keikhlasan menjalani perannya, mencari nafkah. Tuturnya tak sebanyak ibu, namun tetap penuh makna. Sentuhannya mungkin tak selembut ibu, tetapi tetap penuh kasih. Ia, lelaki yang berjanji akan selalu ada

Komentar

Postingan populer dari blog ini