oleh: Herry Tjahjono
Ada
dua kisah nyata inspiratif yang akan saya adaptasi. Pertama tentang
seorang tukang pipa (plumber). Alkisah, bos perusahaan otomotif terbesar
di Jerman sedang pusing karena pipa keran airnya bocor, ia takut
anaknya yang masih kecil terjatuh. Setelah bertanya ke sana-kemari,
ditemukan seorang tukang terbaik. Melalui pembicaraan telepon, sang
tukang menjanjikan dua hari lagi untuk memperbaiki pipa keran sang bos.
Esoknya, sang tukang justru menelepon sang bos dan mengucapkan terima
kasih. Sang bos sedikit bingung. Sang tukang menjelaskan, ia berterima
kasih sebab sang bos telah mau memakai jasanya dan bersedia menunggunya
sehari lagi. Pada hari yang ditentukan, sang tukang bekerja dan bereslah
tugasnya, lalu menerima upah. Dua minggu kemudian, sang tukang kembali
menelepon sang bos dan menanyakan apakah keran pipa airnya beres. Namun,
ia juga kembali mengucapkan terima kasih atas kesediaan sang bos
memakai jasanya. Sebagai catatan, sang tukang tidak tahu bahwa kliennya
itu adalah bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman. Cerita belum
tamat. Sang bos demikian terkesan dengan sang tukang dan akhirnya
merekrutnya. Tukang itu bernama Christopher L Jr dan kini menjabat GM
Customer Satisfaction & Public Relation Mercedes Benz. Dalam sebuah
wawancara, Christopher menjawab, ia melakukan semua itu bukan sekadar
tuntutan after sales service atas jasanya sebagai plumber. Jauh lebih
penting, ia selalu yakin tugas utamanya bukanlah memperbaiki pipa bocor,
tetapi keselamatan dan kenyamanan orang yang memakai jasanya.
Christopher melihat lebih jauh dari tugasnya.
Kisah
lain. Ada juga kisah dari teman saya, James Gwee, tentang Mr Lim yang
sudah tua dan bekerja ”hanya” sebagai door checker (memeriksa engsel
pintu kamar hotel) di sebuah hotel berbintang lima di Singapura. Puluhan
tahun ia jalankan pekerjaan membosankan itu dengan sungguh- sungguh,
tekun, dan sebaik-baiknya. Ketika ditanya apakah ia tak bosan dengan
pekerjaan menjemukan itu, Mr Lim mengatakan, yang bertanya adalah orang
yang tidak mengerti tugasnya. Bagi Mr Lim, tugas utamanya bukanlah
memeriksa engsel pintu, tetapi memastikan keselamatan dan menjaga nyawa
para tamu. Dijelaskan, mayoritas tamu hotelnya adalah manajer senior dan
top manajemen. Jika terjadi kebakaran dan ada engsel pintu yang macet,
nyawa seorang manajer senior taruhannya. Jika ia meninggal, sebagai
decision maker, perusahaannya akan menderita. Jika perusahaannya
menderita dan misalnya bangkrut, sekian ribu karyawannya akan menderita.
Belum lagi keluarganya, termasuk anak istri manajer itu.
Demikian
jauh pandangan Mr Lim, dan ia bukan sekadar door checker. Beberapa
pelajaran Christopher L Jr dan Mr Lim relatif manusia sejenis. Keduanya
bukan kelas manusia sedang atau biasa (good people). Mereka jenis
”manusia besar atau manusia berlebih” (great people) meski jabatan atau
pekerjaan formal di suatu saat demikian ”rendah dan biasa saja”. Sikap
mental mereka jauh lebih tinggi dari jabatan dan pekerjaan formalnya.
Dua kisah itu memberikan beberapa pelajaran berharga.
Pertama,
untuk menjadi manusia besar tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan
teknis seseorang mengerjakan tugasnya. Kemampuan dan kompetensi teknis
(hard competence) boleh sama atau biasa saja, tetapi sikap mental atau
soft competence yang lebih akan menentukan seseorang menjadi manusia
besar atau tidak.
Kedua,
untuk bisa mempunyai soft competence dimaksud, kita perlu berontak dan
bangun dari tidur panjang selama ini, keluar dari zona nyaman good.
Sebagai manusia minimalis, pekerja atau pemimpin apa adanya (yang
penting job description dijalankan), target kerja atau key performance
indicator (KPI) tercapai, beres! Itulah tipikal manusia biasa saja.
Upaya ini memerlukan pengorbanan diri sebab hanya dengan menjadi good
people seperti selama ini saja, toh tak ada yang mengusik kita, tetap
bisa bekerja dengan nyaman, dan seterusnya. Maka, pemberontakan untuk
bebas dari kondisi good people itu harus dari diri sendiri dulu. Ingat
petuah Jim Collins, good is the enemy of great.
Ketiga,
langkah lebih konkret selanjutnya adalah sikap mental untuk ”melihat
lebih”! Christopher L Jr plumber yang ingin memastikan kliennya nyaman
dan selamat. Mr Lim door checker yang ingin menjamin tamu hotelnya
terjaga nyawanya dari bahaya kebakaran. Melihat lebih jauh, beyond the
job!
Keempat,
setelah mampu melihat lebih, barulah kita mampu ”memberi lebih” (giving
more). Hanya dengan melihat lebih dan memberi lebih, kita mampu menjadi
manusia besar yang tidak hanya bekerja sebatas KPI. Kita akan mampu
bekerja dengan memberikan key values indicator (KVI), nilai-nilai lebih,
mulia, unggul, berguna bagi setiap pengguna atau penikmat hasil kerja
kita. Itulah Christopher L Jr dan Mr Lim.
Rindu pemimpin besar
Betapa
bangsa ini rindu seorang pemimpin hasil pemilu yang layak disebut
pemimpin besar, great leader. Mereka yang kini sedang giat berkompetisi
dan perang iklan dengan saling sorot KPI masing-masing. Perhatikan
dengan saksama, maka segenap janji kampanye, termasuk realisasinya,
konteksnya masih sebatas pemenuhan KPI. Ini berlaku baik bagi yang masih
berkuasa maupun mantan dan juga calon yang baru.
Semua
bicara tentang KPI kepemimpinan, belum menyentuh KVI kepemimpinan. Para
pemimpin dan bahkan kita semua demikian bangga dan terpesona sendiri
saat mampu memenuhi ”KPI kehidupan” kita masing-masing, yang biasanya
memang bersifat kuantitatif, materiil, dan mudah diukur. Padahal, untuk
menjadi great people, great leader, great father, great manager, dan
seterusnya, lebih diperlukan kemampuan mempersembahkan ”KVI kehidupan”
kita, yang biasanya justru tidak mudah diukur. Bangsa ini sangat
memerlukan Christoper L Jr dan Mr Lim sebanyak mungkin dan sesegera
mungkin. Sebagai catatan akhir, seorang office boy yang mampu
mempersembahkan KVI nilainya tak kalah dengan seorang CEO yang hanya
memberikan KPI-nya. Jika kita ”mau” melihat lebih jauh, kita akan
”mampu” melangkah lebih jauh.
Komentar
Posting Komentar