Sabtu pagi. “Amru … dipanggil kepala sekolah!” lagi-lagi namaku
dipanggil. Aku sudah tahu apa yang akan disampaikan kepala sekolah. Bulan lalu
bu Isti wali kelasku memanggil menyampaikan salam untuk orangtuaku untuk segera
membayar biaya SPP-ku yang sudah nunggak hampir 6 bulan. Sebulan sebelumnya
bahkan bagian Tata Usaha sudah berkali-kali memanggilku hingga semua
teman-teman tahu setiap kali aku dipanggil pasti urusannya dengan soal bayaran
sekolah.
Sejak orangtuaku bercerai dan aku memutuskan untuk ikut ibu setahun
yang lalu, kondisi ekonomi keluargaku memang semakin terdesak. Terlebih sejak
ayah menyetop kiriman uang yang seharusnya menjadi kewajibannya 6 bulan lalu.
Ibu yang hanya lulusan PGA (Pendidikan Guru Agama) menggunakan kemampuannya
mengetuk satu persatu pintu orang-orang berada dan menawarkan jasanya untuk
mengajar ngaji anak-anak mereka. Akibat kebutuhan yang mendesak itulah, ibu
selalu kehabisan uang untuk biaya sekolahku, juga adik-adikku.
Ada Wicaksono, kami memanggilnya Sony, di kelas ia selalu menjadi
biang keributan, sering membuat onar dan tidak jarang berbuat usil terutama
kepada perempuan. Hampir semua anak dikelas tak menyukainya, selain ia juga
sombong. Ia sangat suka pamer jika mempunyai barang-barang bagus yang baru
dibelikan orangtuanya, seperti sepatu dan tas. Dilihat dari merk-nya sih, jelas
tidak murah, bagus pula modelnya. Aku tak pernah iri kepadanya, hanya saja yang
membuat aku membencinya lebih karena ocehannya setiap petugas tata usaha
memanggilku. “Pinter-pinter nunggak …” atau sindiran lainnya.
Sore menjelang Ashar, dengan langkah gontai aku memasuki teras
rumah. Kulihat ibu sedang menyapu lantai. Sejak dalam perjalanan pulang sudah
kuputuskan untuk tidak menyampaikan surat panggilan kepala sekolah agar tidak
menjadi beban pikiran ibu. Lagi pula mulai besok sampai minggu depan sekolah
libur.
Satu minggu sesudah jadwal masuk aku masih belum mau ke sekolah.
Aku ‘membohongi’ ibu dengan mengatakan bahwa libur sekolah diperpanjang. Hingga
akhirnya Fauzan, seorang temanku datang dan mengajakku ke sekolah. Ada yang
lain di sekolah, petugas TU yang biasanya tak pernah senyum kepadaku, hari ini
begitu ramah. Di kelas, tak ada yang berubah kecuali Sony, teman-teman bilang
ia telah berubah setelah mengikuti pesantren kilat selama liburan yang lalu.
Tak ada lagi kesombongan dan sifat usilnya. Alhamdulillaah.
***
Itu dua belas tahun yang lalu, saat aku masih duduk dibangku SMA
kelas 2. Kini aku tak pernah bertemu lagi dengan mereka, orang-orang yang
pernah menjadi bagian dari perjalanan hidupku. Yang kutahu cuma satu, Fauzan,
teman sekolahku dulu kini menjadi salah satu staf dalam perusahaan yang aku
dipercaya menjadi General Managernya. Satu bulan lalu saat acara syukuran
dikantor atas dipercayanya aku menjadi GM, Fauzan membisikkan sesuatu yang
membuatku menitikkan airmata. “Masih ingat Sony? Dia menjual tas dan sepatu
barunya untuk melunasi tunggakan biaya sekolah kamu dulu” Subhanallaah …
***
Sahabat sejati bukan memberi pada saat orang meminta, ia mempunyai
mata pandang yang mampu menembus relung kebisuan sahabatnya. Ia memberi tanpa
kata-kata, tanpa menepuk dada.
Saudaraku, mungkin sepanjang perjalanan hidup kita pernah ada
orang-orang yang menjadikan dirinya batu pijakan sehingga kita bisa melangkah
maju dan lebih jauh. Meski cuma batu kecil, namun keberadaannya mungkin telah
menyelamatkan kita dari jurang kejatuhan yang melumpuhkan. Sayangnya,
seringkali kita tak pernah menengok batu-batu pijakan itu dan melupakannya.
(kiriman seorang teman, pernah di muat di eramuslim.com)
Komentar
Posting Komentar